Beranda | Artikel
SERIAL FIKIH ANEH LDII : (3) Nngepel-Ngepel Jika Ada Orang Luar Masuk Mesjid
Senin, 3 November 2014

Merupakan fenomena yang tidak bisa ditutup-tutupi oleh Islam Jama’ah adalah kebiasaan jama’ah mereka yang mengepel bekas orang luar jika masuk ke masjid mereka. Meskipun sering mereka berbudi luhur (baca : ngapusi/bohong) dengan menyatakan “itu hanyalah fitnah”, akan tetapi kenyataan ini sudah dialami oleh banyak orang dan khabarnya tersebar dimana-mana. Dan saya rasa orang dalam IJ (Islam Jama’ah) tidak perlu menutup-nutupi hal ini, karena hanya semakin memalukan saja dan semakin menunjukkan bahwa mereka memang suka membohongi orang luar jamaah.

Meskipun diakui “model ngepel-negepel” sudah mulai berkurang, yang menunjukkan ada perubahan “ijtihad mangkul” dalam tubuh IJ.

Perubahan fikih dan ijtihad IJ menunjukkan bahwa sistem mangkul  mereka hanyalah dongeng yang dibuat oleh pendiri mereka. Bukankah logikanya “mangkul” itu seperti air yang keluar dari keran?, dari Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam hingga ke sang imam?”. Seharusnya kalau benar “metode ngepel-ngepel” itu dari dari sistem mangkul, seharusnya tidak usah dirubah !!!. Maka setiap perubahan hukum menunjukkan bahwa metode mangkul itu hanyalah dongengan belaka !!!

          Tentu para pembaca yang budiman bertanya, kenapa mereka harus mengepel-negepel??, apakah tubuh “orang di luar” dari IJ adalah najis??

Jawabannya, mereka IJ tidaklah menganggap tubuh orang luar najis, akan tetapi mereka kawatir tubuh orang luar membawa najis, karena orang luar “tidak mangkul” dalam membersihkan najis, sehingga dikawatirkan thoharoh nya tidak suci, sehingga dikawatirkan pada tubuh mereka, atau baju mereka, ada najisnya. Maka daripada was-was mending tatkala mereka keluar dari mesjid IJ dipel saja, lebih selamat. Ini lah logika sederhana dari “proses ngepel-ngepel” tersebut.

Sebelum penulis mengutarakan dengan panjang lebar tentang hal ini, penulis mengajak orang dalam anggota IJ agar merenungkan hadits berikut :

عن ابن عمر قَالَ: «كَانَتِ الكِلاَبُ تَبُولُ، وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي المَسْجِدِ، فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ»

Dari Ibnu Umar –semoga Allah meridhoinya- beliau berkata, “Dahulu anjing-anjing kencing, lalu keluar masuk di mesjid di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mereka tidak memercikan air samak sekali karenanya” (HR Al-Bukhari no 174)

Dalam riwayat yang lain Ibnu Umar berkata:

«كُنْتُ أَبِيتُ فِي الْمَسْجِدِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكُنْتُ فَتًى شَابًّا عَزَبًا، وَكَانَتِ الْكِلَابُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي الْمَسْجِدِ، فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ»

“Aku dulu bermalam di masjid di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika itu aku masih muda dan bujangan, dan anjing-anjing kencing, lalu keluar masuk di mesjid, akan tetapi mereka (para sahabat Nabi) sama sekali tidak memercikan air (di mesjid) karena hal itu” (HR Abu Dawud no 382 dan Ibnu Hibban no 1656)

Para ulama telah menjelaskan maksud hadits ini, yaitu anjing-anjing tersebut kencing di luar masjid lalu masuk dan keluar masjid akan tetapi para sahabat tidak memercikan air sama sekali ke tempat-tempat yang dilalui anjing-anjing tersebut. Jika mereka tidak memercikan air, apalagi menyiram tempat bekas lalu lalang anjing tersebut.

Hal dikarenakan meskipun anjing tersebut membawa najis, akan tetapi menempelnya najis di mesjid masih merupakan perkara yang diragukan, sementara kesucian mesjid adalah perkara yang pasti, maka dalam kaidah “kepastian tidak dihilangkan dengan keraguan”.

Nah jika anjing saja tidak dipel oleh para sahabat, lantas kenapa anggota orang dalam IJ nekat mengepel orang-orang luar IJ??, mangkul darimanakah kengawuran ini?. Renungkanlah wahai anggota IJ !!!, mangkul dari mana metode ngepel-ngepel ini??

Apakah anjing –yang tidak dipel- lebih mulia dari orang diluar Islam Jama’ah??

Sadarlah kalian, sesungguhnya kalian sedang tertipu oleh metode mangkul-mangkulan ala imam kalian !!!.

Renungkan pula tentang hadits-hadits yang menyebutkan Nabi membiarkan sebagian orang kafir dan musyrik untuk masuk masjid nabawi, dan sama sekali tidak dipel oleh Nabi dan para sahabatnya. Diantara hadits-hadits tersebut :

Dari Abu Huroiroh –semoga Allah meridhoinya-, ia berkata :

بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْلًا قِبَلَ نَجْدٍ، فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي حَنِيفَةَ يُقَالُ لَهُ: ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ، فَرَبَطُوهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي المَسْجِدِ، فَخَرَجَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «أَطْلِقُوا ثُمَامَةَ»، فَانْطَلَقَ إِلَى نَخْلٍ قَرِيبٍ مِنَ المَسْجِدِ، فَاغْتَسَلَ، ثُمَّ دَخَلَ المَسْجِدَ، فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus pasukan berkuda ke arah Nejd, maka mereka menawan seorang dari Bani Hanifah namanya adalah Tsumaamah bin Utsaal, lalu mereka mengikatnya di salah satu tiang masjid. Lalu Nabi keluar menemuinya dan berkata “Lepaskanlah Tsumamah”. Tsumamah pun pergi ke sebuah pohon kurma yang dekat dari masjid, lalu ia mandi lalu masuk ke dalam masjid (lalu masuk Islam dengan) menyatakan : Aku  bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah” (HR Al-Bukhari no 462).

Dan dalam riwayat Muslim (no 1764) ceritanya lebih lengkap, disebutkan bahwa Tsumamah diikat di tiang masjid Nabawi berhari-hari, baru kemudian ia masuk Islam.

Seharusnya kalau ada orang dalam IJ tatkala itu pasti sudah kebingungan, bekas-bekas langkah Tsumamah harusnya dipel, apalagi tiang masjid Nabawi tempat mengikat Tsumamah selama berhari-hari harusnya segera dipel juga ?!

Dalam hadits-hadits yang lain juga disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerima tamu-tamu orang-orang kafir di masjid (seperti utusan dari Tsaqif).

Demikian juga bukankah dalam syari’at diperbolehkan seorang lelaki muslim untuk menikah dengan seorang wanita yahudi atau wanita nasrani?. Allah berfirman :

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ

Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. (QS Al-Maidah : 5)

Lantas jika mau ngikuti model IJ maka bagaimana seorang muslim bermuamalah dengan istrinya yang nashrani?, bagaimana berhubungan senggama dengannya?, apakah tiap hari harus dipel tubuhnya?, dipel tempat tidur?. Atau tidak perlu dipel karena wanita nashrani tersebut sudah mangkul ala IJ??!!

Sekali lagi, tidak bosan-bosannya saya mengajak para pembesar IJ untuk berdialog, silahkan berdialog di Mekah?, di Madinah?, di Darul Hadits (yang katanya konon sang imam mangkul dis situ?). Anehnya metode “ngepel-ngepel” ini tidak pernah ada di Arab Saudi, padahal yang sholat di Masjid Nabawi dan masjidil Haram dari berbagai manca Negara, dan seluruhnya tidak punya imam ala JI. Bukankah masyarakat Indonesia (yang tidak berimam kepada Imam JI) selalu haji dan umroh?, sejak zaman dahulu kala?, lantas kenapa pemerintah Saudi tidak pernah mengistruksikan untuk mengepel-ngepel?, semuanya harus dipel kecuali jika yang masuk masjid haram dan masjid nabawi adalah anggota JI??. Ini bukti yang nyata bahwa mangkul JI hanyalah khayalan dan tipuan sang imam !!

Berikut penjabaran sebab mereka melakukan “metode ngepel”:

Salah satu ‘perekat’ yang membuat anggota IJ semakin fanatik dengan kelompoknya sekaligus membuatnya meng-isolir diri dan merasa risih dari bergaul dengan ‘orang luar’ selain kelompoknya – adalah doktrin tentang Penjagaan diri dari perkara Najis.

Dalil dan kerangka pemahaman IJ tentang Penjagaan diri dari perkara Najis, sebagaimana yang dimangqulkan melalui Teks Daerahan, Peraturan 55 dan Larangan 24 yang kesemuanya berisi ijtihad Imam IJ,  adalah sbb :

1. Dalil umum kewajiban menjaga diri dari najis yang digunakan adalah ayat Qur’an tentang menjaga kesucian dan hadits ancaman siksa kubur atas orang yang tidak bersuci dari kencingnya. Dalam keterangan ‘mangkul’ dijelaskan bahwa ‘tidak bersuci dari kencingnya’ adalah ketidak hati2an seseorang dalam praktek buang air besar/kecil sehingga bagian tubuh atau pakaiannya terkena najis atau cipratan najis (termasuk cipratan air dibawah dua qullah). Ancaman siksa kubur sama dengan ancaman masuk Neraka yang dianggap dosa besar yang bisa menghantarkannya kepada Neraka kekal sama dengan kekafiran.

2. Logika pengambilan hukumnya, orang yang tidak bisa menjaga cipratan najis pada tubuh/pakaian/benda lainnya maka bahagian tubuh/pakaian/benda lainnya yang terciprat tersebut statusnya NAJIS. Karena status najis tersebut terbawa dalam pelaksanaan sholat fardhu dan sunnah maka sholatnya tidak diterima alias batal. Akibatnya dianggap meninggalkan sholat terus menerus dan ini dipahami sebagai perkara kekafiran (Bainal ‘abdi wa bainal kufri tarkush sholah) yang menjadikannya kekal di neraka.
Hal yang sama, seseorang yang tdk mangqul sunnah Mandi Besar maka amal mandi mandi besarnya tidak sah alias batal. Berarti keadaannya junub terus atau HADATS BESAR sehingga batal sholatnya terus menerus yang berarti tarkush sholah (meninggalkan sholat) dan berakibat  kekal di Neraka.

3. Dalam bahasa istilah sehari-hari di lingkungan IJ, kata NAJIS disebut NJAS untuk menyamarkan kalimat najis yang kurang sedap di telinga. Hukum keadaan sebaliknya adalah SUCI atau terkadang diistilahkan sehari-hari dengan ungkapan SU’. Sebutan Njas atau Su biasanya diungkapkan jika disitu pas ada ‘orang luar’ supaya tidak tersinggung.

4. Dalam mangqulnya, Najis adalah segala materi yang keluar dari 2 lubang sekresi manusia dan hewan yang haram dimakan. Sumber materi najis ada 6, yaitu : (a) AIR KENCING dan (b) MADZI (dari lubang urinal – dikecualikan air MANI sbg najis ringan), (c) kotoran TAHI (dari lubang dubur), (d) ILER (cairan kental dan bau yang keluar dari mulut saat tidur), (e) MUNTAH (materi yang keluar dari lambung), (f) AIR DIBAWAH 2 QULLAH (ket. Mangkul = 240 ltr) yang tercemar materi najis maka keseluruhan air tersebut hukumnya sama dengan materi najis yang cipratannya dianggap menebar najis kemana-mana. Genangan air dilantai kamar mandi termasuk yg dianggap jenis najis ini.

5. Bahagian tubuh kita atau pakaian dan benda lainnya yang tercemar/terciprat materi najis-najis ( a – f.) tersebut statusnya menjadi Najis yang wajib disucikan yakni materi najisnya dihilangkan dengan menggunakan media pensuci. Media pensuci Najis adalah Air yang suci, Batu yang suci dan Tanah yang suci.

6. AIR YG SUCI adalah air yang terbebas dari najis. Sumbernya adalah air yang mengalir (spt air kran/slang), atau air dalam wadah minimal 240 ltr (boleh kurang dari itu asal dipastikan asalnya suci spt air botol aqua) atau sumber mata air alam/sungai/danau/air hujan. Kondisi air tersebut diyakini Suci dan bisa mensucikan benda yang direndam atau dibasuh dengannya.

7. BATU YG SUCI adalah batu yang awalnya terbebas dari najis dan diutamakan yang bisa menyerap kotoran.

8) TANAH YG SUCI adalah tanah yang awalnya terbebas dari najis dan kering sehingga bisa menyerap kotoran.

9. Prinsip proses mensucikan suatu bahagian badan atau benda yang tercemar materi najis adalah membawa pergi materi najisnya menggunakan salah satu dari ketiga media pensuci tersebut.

10. Jika dengan air, maka proses mensucikan misalnya pada pakaian adalah dengan mengosok-gosok dan mengalirkan air di noda bekas najis sampai hilang najisnya terbawa air. Atau jika tidak diketahui letak noda najisnya maka untuk memastikan keyakinan telah suci dilakukan dengan cara dicelup/rendam dalam aliran sungai/danau atau bak berisi air minimal dua qullah atau dibilas dan rendam dalam ember dengan cara dileberkan (air dibiarkan terbuang) hingga kira-kira 3 kali volume ember tersebut.

11. Jika dengan media batu, maka proses mensucikan misalnya pada kasus ‘peper’ (cebok) adalah dengan menggerus materi najisnya menggunakan usapan batu yang porosif (menyerap) minimal 3 batu. Prinsipnya materi najis dihilangkan bersama dibuangnya batu tersebut. Sekalipun tidak sebersih menggunakan air maka proses ini sudah dianggap suci. Kurang lebih begitu pula jika menggunakan tanah. Najis dihilangkan dengan diserapkan ke media tanah dan kemudian dianggap hilang najisnya bersama dibuangnya tanah yang digunakan tersebut.

12. Dengan kerangka pemahaman IJ tentang Penjagaan diri dari perkara Najis tersebut maka Imam IJ merilis peraturan yang wajib ditaati warga jamaah IJ tentang spesifikasi teknik pembuatan Kamar mandi dan WC di rumah2 warga IJ dan pondok2 IJ agar bisa menerapkan penjagaan diri dari perkara Najis. Ijtihad Imam tentang hal terkait adalah bahwa setiap jamaah supaya membuat Kamar mandi/WC/Jeding dengan aturan spesifikasi tertentu untuk menghindari cipratan najis, a.l :
– Lebar pintu KM / WC minimal 80 cm, agar ketika keluar/masuk pintu tsb badan/pakaian tidak bersentuhan dgn kusen pintu yang dianggap ‘najis’ karena kusen pintu tidak terjaga dari cipratan najis.

– Bak mandi dibuat dengan ukuran volume lebih dari dua qullah/240 liter dengan tinggi dinding bak yang tidak terjangkau cipratan air dari lantai. Dibolehkan kurang dari itu tetapi dibuat pipa bejana berhubungan ke bak lain sehingga total volume tetap dua qullah. Jika terbatas lahan, boleh dengan wadah kurang dari 2 qullah asal kran airnya mengalir saat digunakan sehingga dianggap nyambung ke sumber airnya. Atau menggunakan system shower tanpa bak. Tujuannya agar kuat keyakinan bahwa air tetap terjaga suci dan bebas dari najis.

– Lantai dibuat miring searah spy air buangan tetap mngalir mbawa pergi sgl najis dan tdk mnggenang (yg bisa mjd sumber cipratan najis), lalu dibuat kalen/parit buangan disatu sisi yg mnuju lubang drainase. Dgn begitu lantainya sll terbilas air buangan dan tidak mnggenang shg status lantai hukumnya suci. Boleh masuk tanpa alas sandal.

– WC standar jongkok dgn lubang bukaan minimal lbr 18 cm, pjg 25 cm, kedalaman (ke dasar closet) 30 cm, tujuannya agar saat pipis/pup cipratannya tdk mnjangkau bagian bawah badan kita.

– Untuk lebih wira’i/hati2 dlm mnjaga kesucian dari najis maka tiap kali masuk kamar mandi/wc dilazimkan memakai sandal yang tebal seperti sandal bakiak/kelom dari kayu atau sandal karet.

Akibat pemahaman ttg perkara najis dan pemberlakuan itjihad Imam ini maka aplikasi dikalangan jamaah IJ menimbulkan efek negatf dan keyakinan yang nyeleneh, a.l :

1. Semua ‘org luar’ dianggap tdk bisa menjaga diri dari najis.Buktinya Kamar mandi dan WC nya tdk memenuhi standard  ijtihad Imam IJ.. Lantai kmr mandi/WC nya becek ada genangan air yg dianggap najis. Kdalaman lubang WC pendek shg mudah terciprat najis ke badan. Kebiasaan mencuci di lantai kamar mandi dan keluar masuk kamar mandi tanpa Sandal dianggap sbg sikap meremehkan syariat menjaga kesucian udari najis. Oleh karena itu, tubuh dan pakaian ‘orang luar’  semua dianggap najis. Terutama jika kondisi tangan/badannya ‘basah’ keringatan, persentuhan fisik dgn mrk akan mnimbulkan WASWAS terkena najis.

2. Paham kesucian model IJ ini bgt merasuk sangat dalam. Tanpa sadar mjd salah satu ‘perekat’ solidnya IJ. Jamaahnya akan lbh nyaman tinggal dan bergaul dgn lingkungan IJ krn seilmu sepaham soal perkara menjaga kesucian dari najis.Secara alami mrk membatasi diri dari bergaul beraktivitas bersama dgn ‘org luar’ krn mengganggu kekhusuan ibadah akibat waswas najis. Bgt mndalamnya doktrin najis ini, sampai bbrp org ex IJ yg telah keluarpun masih sulit merubah standar kesucian ala IJ ini. Itulah sebabnya Jemaah IJ lbh senang ngomplek dan punya mesjid sendiri.

3. Bbrp kasus terkait paham kesucian dari najis ala IJ, a.l. adalah :

> Mengepel (baca : mensucikan) lantai rumah/mesjid jika diinjak ‘org luar’ dlm kondisi basah. Dgn makin membaurnya IJ dgn masyarakat, mrk kerepotan sendiri jika selalu waswas dan hrs mngepel. Belakangan dihembuskan pemahaman soal najis yg lbh moderat. Bahwa jika kita tdk tahu pasti keadaan  seorg ‘luar’  maka dikembalikan kpd hukum asal yakni org itu suci dari najis. Maka skrg jarang  dijumpai lagi kasus ‘mengepel’ ulang.

> Seorg pengusaha IJ di Kalimalang memilih shalat beralas koran ketimbang pake sajadah bekas pakai ‘orang luar’.

> Seorang Manager anggota IJ di Bekasi memberlakukan zona suci di rumahnya, shg siapapun yang bertamu wajib melepas alas kaki dan mencuci kakinya dikran yg sdh disiapkan diteras rumahnya. Ia bahkan mengaku selalu mencuci semua pakaian dan perabot yg baru dibeli di toko sblm digunakan krn waswas najis.

> Banyak kasus anak yg ikut IJ sering bertengkar dg orangtua yg bukan IJ krn masalah jemuran pakaiannya di ‘sentuh’ shg ia hrs repot mencucinya ulang krn waswas.

> Seorang pemuda IJ di Bdg dilaporkan sampai ‘gila/Stress’ krn hidup serumah dgn saudara2nya yg bukan IJ yg sll usil dan iseng  mengganggu dirinya dgn ‘menyentuh’ fisiknya saat sholat shg ia harus bolak balik membasuh dan mensucikan diri.

>. Seorg mubaleg senior IJ di Jakarta Timur mengaku setiap habis bepergian dg kendaraan umum selalu mandi utk mnghilangkam waswas najis.

> Seorg ex personil band anggota IJ dikenal luas sangat ekstrem memahami najis. Krn persentuhan fisik dg ‘org luar’ tak terhindarkan dan mnggunakan fasilitas bersama maka jk mau duduk di mobil atau kursi selalu repot membekali diri dgn kain alas krn kursinya dianggap najis pernah diduduki org luar. Pembantu rumahnya jika selesai memandikan anak-anaknya maka tahap terakhir adalah mngangkat dan mencelup (baca : mnenggelamkan) tubuh hingga kepala anak-anak tsb ke dalam bak mandi berukuran lbh dua qullah utk memastikan kesucian badannya. Dan hal konyol pernah terjadi ktk radio di rumah majikannya itu terjatuh di lantai dan dianggap najis, maka dgn dungunya pembantunya mencelup radio tsb ke dalam bak, maksudnya mau mnsucikannya. Alhasil radio jd rusak. Dan yg mnggelikan, gagang-gagang pintu dirumah keluarga ini juga dianggap najis krn suka disentuh org luar. Maka hal lucu  yg terjadi jika mau buka pintu mnggunakan kaki atau sarung tangan .

> Tapi herannya, bagi yg fanatik dan ekstrem seperti mrk, paham najis ini tdk diterapkan dalam urusan makanan. Mrk tdk ada cerita waswas najis saat beli bakso pdhal si tukang bakso mncuci mangkoknya di ember kecil kurang dari dua qullah. Bgt pula saat belanja sayuran di pasar, mrk tdk mrasa waswas najis pdhal sayuran-sayuran tsb banyak digelatakkan di lantai yg basah dan kotor.

4. Banyak warga IJ yg bekerja di Jakarta tetapi tinggal di Botabek. Mrk tdk punya pilihan tempat yang memenuhi syarat kesucian ala IJ utk urusan buang air dan sholat fardhu, krn mesjid-mesjid IJ terbatas dan.jauh dari kantor. Akibatnya dlm shalat zuhur dan ashar di ktr sll dihinggapi waswas najis shg mngulangnya saat sdh plg di rumah. Atau bahkan rutin menjamak shalat zuhur dan ashar di waktu Isya saat tiba di rumah.

Demikian sementara yang bisa dirangkum dari perkara menjaga kesucian dari najis yang berlaku di lingkungan IJ sampai hari ini.

Penulis berkata : Sungguh agama yang aneh, fikih yang aneh, mangkul yang aneh….semoga para fanatik IJ bisa berfikir kembali.

Inikah mangkul yang mereka banggakan??!!.

10 Muharram 1436 H / 03 November 2014 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/1278-serial-fikih-aneh-ldii-3-nngepel-ngepel-jika-ada-orang-luar-masuk-mesjid.html